top of page

AL-QUR'AN

  • himasaunpad
  • Nov 1, 2010
  • 9 min read

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Al-Quran yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna "merupakan

suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan

pun sejak manusia mengenal tulisbaca lima ribu tahun yang lalu yang

dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang

yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan

aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja,

dan anak-anak.

Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya,

bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari

segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta

waktu-waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan

redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang

tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya.

Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi.

Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,

berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan

mereka, namun semua mengandung kebenaran.

Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang

berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tata cara membacanya, mana

yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya,

di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan

berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika

membacanya.

Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh

puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah

huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas) huruf yang

seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya,

maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.

Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat terulang

sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang

115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali sebanyak kata

setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg

(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.

Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha

(kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu

penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni

kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat banyak

keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365,

sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali

juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.

"Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran dan

keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."

Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran menantang:

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun

semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya

walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada seorang pun

dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada

nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran

jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)."

Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan

keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya,

serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah

menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling

Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada

manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi,

padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)?

Mengapa demikian?

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun," sehingga

tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara

tertentu."

Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan,

menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca,

baik teks tertulis maupun tidak.

Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi

-dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan

diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau

dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik;

dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri

sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri

sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.

Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat

dijangkaunya.

Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat

ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar

menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali

mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai

mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan

bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan

menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca

itu-itu juga.

Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru,

pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan

batin. Berulang-ulang "membaca" alam raya, membuka tabir rahasianya

dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat

Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan

ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun

demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan

kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung

dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling

Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan

tercapai.

Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang

pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka

maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan

teknologi, serta syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban

yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan).

Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9

sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru.

Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir

dengan filsafat Hegel (1770-1831).

Peradaban Islam lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah

menunjuk masa akhirnya, karena kita yakin bahwa ia tidak akan lekang

oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama

Allah memeliharanya

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya)

menurunkan Al-Quran, dan Kami (yakni Allah dengan keterlibatan

manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

Pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah

pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu dalam

perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan dua cara perolehan

dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.

Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek

dituntut berperan guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah

menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan dirinya kepada

subjek tanpa usaha sang subjek.

Komet Halley, memasuki cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun.

Dalam kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dan

alat-alatnya untuk mengamati dan mengenalnya, tetapi sesungguhnya

yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri untuk

memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap

dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang

dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya tidak lain kecuali

bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus

komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan wahyu

pertama ini.

"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia

sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia

ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)

Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan

pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu.

Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir

menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita

di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan

pencuri.

Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta

didiknya dengan memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa,

akal, dan jasmaninya.

Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau

tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya dengan

pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material :

"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).

Musa sadar sambil menjawab,

"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun)

dengannya untuk kambingku, disamping keperluan-keperluan lain" (QS

Thaha [20]: 18).

Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material,

Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk

mengingatkan manusia akan kehadiran Allah Swt. dan bahwa segala

sesuatu yang teriadi 96sekecil apa pun- adalah di bawah kekuasaan,

pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan

tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu

yang basah atau kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam

jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).

"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang

menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal

[8]: 17).

Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan

kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena

itu seringkali pada saat Al-Quran berbicara tentang satu persoalan

menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain

muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas

terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun

mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat

mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak

dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau

aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu

indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung

pangkalnya.

Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk

mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran

Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu yang tidak dapat

dipisah-pisahkan.

Keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan

menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan

hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri,

dikemukakan Al-Quran secara berurut dalam belasan ayat surat

Al-Baqarah. Mengapa demikian? Mengapa terkesan acak? Jawabannya

antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan

ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan untuk

dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu Bersedekah tidak

pula lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat

sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan

Ramadhan. Puasa dan ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang

lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks

antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan ajaran-ajarannya.

Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada

kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah

faktual atau simbolik. Kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan

"kelemahan manusiawi," namun itu digambarkannya dengan kalimat indah

lagi sopan tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi

negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu,

atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan

setan.

Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa

kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan

setelah enggan berkali-kali mendengar nasihat, terjadilah bencana

longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:

"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash

[28]: 81).

Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun,

"Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia

kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah

tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun

dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir

(QS Al-Qashash [28]: 82).

Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran, bahkan

mengemukakan situasi, langkah konkret dan kalimat-kalimat rayuan

seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta oleh kegagahan seorang

pemuda yang tinggal di rumahnya,

Maksudnya,

"(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara

terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat rapat, seraya

berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada kekasihnya-setelah

berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).

Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara

seniman, yang memancing nafsu dan merangsang berahi. Al-Quran

menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak

harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang

sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.

Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda

yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang

dengan tiga cara rayuannya, Yang pertama dan kedua adalah,

"Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku,

yang memperlakukan aku dengan baik" (QS Yusuf [12]: 23).

Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.

"Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku

aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).

Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan

sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat

merupakan salah satu andalannya.

Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat

itu pula ia mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat

masyarakat diwajibkan menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang

sama Rasul dan para pemimpin diperintahkan menunaikan amanah,

menyayangi yang dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.

Demikian Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat, dan

pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat tercapai tanpa

keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil kalau beban pendidikan

hanya dipikul oleh satu pihak, atau hanya ditangani oleh guru dan

dosen tertentu, tanpa melibatkan seluruh unsur kependidikan.

Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya,

ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama itu pula Nabi

Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun mengajarkan Al-Quran, dan

membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya, mereka berhasil

membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan

hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan

Ilahi.

Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan

berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil

penelitian seorang guru besar Harvard University, yang dilakukannya

pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran

negara-negara itu.

Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi

bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada generasi muda.

Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang kemajuan atau kemunduran

negara-negara yang ditelitinya itu, para generasi muda dibekali

dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi

muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada

hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan

itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh

tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.

Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita

kecuali 20 tahun kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis,

tergantung dari penilaian tentang bacaan dan sajian itu. Namun kalau

melihat kegairahan anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta

kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis,

karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi

terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar

delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca dan

hayati mendorong pengembangan ilmu dan teknologi, serta kecerahan

pikiran dan kesucian hati.

Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani

pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.

Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja

mencanangkan "wajib belajar" tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah

tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar, sedang al-haq

atau kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? Mencari kebaikan

menghasilkan akhlak, mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari

kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan

sekaligus mewarnai suatu peradaban.

Al-Quran yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara

lain:

* Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk

syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang

sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak

semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah

hidup dan kehidupan umat manusia.

* Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni

bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat

bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan

tugas kekhalifahan.

* Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku

atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan

dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu,

iman, dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian

manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan

sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah

satu keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.

* Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang

kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan

mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

* Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,

penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas

manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.

* Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih

sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan

pokok kehidupan masyarakat manusia

* Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme

dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan

wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.

* Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan

satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan

panduan dan paduan Nur Ilahi.

Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan yang tepadu dan

menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan pendekatan religius yang

bersifat ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan formalitas dan

kegersangan.

Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita

menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian

berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan

menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas

keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketenteraman hidup

pribadi dan masyarakat.

Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang akal dan

menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi kasih dan

keharuan cinta, sehingga dapat mengarahkan kita untuk memberi

sebagian dari apa yang kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan

umat manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan

spiritual bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur dalam negara kita.

 
 
 

Comments


Artikel Terbaru
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page